Sunday, November 20, 2005

Sebuah Cerpen

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan
alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru
setelah menengok ke belakang,hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan
semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang;
Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman
Nania. Mereka ternyata sama herannya. "Kenapa?" tanya
mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan. Saat
itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu.
Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata
tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya
berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya
sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan
di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua
menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana.
Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari,
dia tak punya kata-kata! Dulu gadis berwajah indo itu
mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan
spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki
itu. Tapi kejadian dikampus adalah kali kedua Nania
yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama
terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan
keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga
Nania dianggap momen yang tepat karena semua
berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab
kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta
buntut mereka.
"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di
wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak
nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama
membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika
mengira Nania bercanda. Suasana sekonyong-konyong
hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita
melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua
menatap Nania!
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa
lucunya jika Rafli memang melamarnya. "Tidak ada yang
lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira
Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa
barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak
sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang
mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
seleidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang
duduk layaknya pesakitan.
"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama
mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan
nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa saja boleh
datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus
iya, toh?" Nania terkesima. "Kenapa?"
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu
paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat
bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu
bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu
meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar
biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki
manapun yang kamu mau! Nania memandangi mereka,
orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak,
dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang
uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan
Nania lontarkan. "Nania Cuma mau Rafli," sahutnya
pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu
dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka,
melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan
yang mencapai stadium empat. Parah. "Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan
pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian
tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya
ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan
seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan
seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan
membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak
tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya
fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak
'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan
perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup
hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima
Rafli. Di sampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya
menikah.
*** Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering
menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di
belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari
Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga
menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di
mata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar
dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata,
atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang
membuat perempuan itu sangat bahagia. "Tidak ada
lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada
Nania." Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa
keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat,
mata mereka terlihat tak percaya. "Nia, siapapun akan
mudah mencintai gadis secantikmu!" "Kamu adik kami
yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!" "Betul.
Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya
kehidupan sukses!" Nania merasa lidahnya kelu.
Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa ama keempat adik dan kakak itu beradu
argumen. Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak! Betul.
Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania. Rafli juga sukses,
pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan
sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang
bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi
percuma. "Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu
sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk
menghidupimu." Teganya kakak-kakak Nania mengatakan
itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan
sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak
juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki
dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan.
Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin
setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak
perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup
senang. "Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania
memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. "Gaji
Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji
Abang." Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki
itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang
berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga.
Ya?" Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan
kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan
listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania
cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang.
Bahagia! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki
biasa, dari keluarga biasa, dengan 0pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan an gaji yang
amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak
penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi
Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu
mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu,
dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup
perempuan itu berada di puncak! Bisik-bisik masih
terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik
tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik
ya? dan kaya! Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu
membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania
belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia
hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari
hari ke hari. Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania
masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin
besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun
waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania,
atau membuat Nania menangis.
*** Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar.
Sudah lewat dua minggu dari waktunya. "Plasenta kamu
sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!" Mula-mula dokter kandungan langganan
Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania.
Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat.
Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak
dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya
waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar
ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat
tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania
belum satu pun yang datang. Anehnya, meski obat kedua
sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama,
Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan.
Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima
menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat
sekali. "Baru pembukaan satu." "Belum ada perubahan,
Bu." "Sudah bertamb sedikit," kata seorang suster
empat jam kemudian menyemaikan harapan. "Sekarang
pembukaan satu lebih sedikit." Nania dan Rafli
berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang
memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua.
Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah,
mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran
akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka
meleset. "Masih pembukaan dua, Pak!" Rafli
tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena
rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya.
Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak
sesuap nasi pun bisa ditelannya. "Bang?" Rafli
termangu. Iba hatinya melihat sang istri
memperjuangkan dua kehidupan. "Dokter?" "Kita operasi,
Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar." Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi
kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka
berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia
senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman
tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka
merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania
digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh
di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan
ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan.
Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak.
Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah
cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan
diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli
bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti
melafalkan zikir. Seorang dokter keluar, Rafli dan
keluarga Nania mendekat. "Pendarahan hebat." Rafli
membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna
merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak
terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka
selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania
yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak,
sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti
berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu
tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir
di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu
adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli
bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus
membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak.
Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi
itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga
daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah
boleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga
saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah
sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat
perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi
percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat
anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat
Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh,
dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.
Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat
telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan
menjenguk sanak famili mereka,melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda
mesra. Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania
bisa merasakan kehadirannya. "Nania, bangun,
Cinta?"Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang
sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang
cantik. Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak
keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah
sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan
istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan
suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan
itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, "Nania,
bangun, Cinta?" Malam-malam penantian dilewatkan
Rafli dalam sujud dan permohonan.
Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan
dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber
semangat bagi orang-orng di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak
merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan
yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias
perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening,
serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang
cantik. Nania sudah tidur terlalu lama. Pada hari
ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan
wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap
matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam
tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya,
mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus
kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah
merawat Nania selama sebelas tahun terakhir.
Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar
anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore
setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju
rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja
datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan
tahun yang sedang jatuh cinta. Ketika malam Rafli
mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu,
memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak
perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan
lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus
dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania,
membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan
paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di
mata Rafli. Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka
sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja,
makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun
Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli,
melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania.
Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat
merasa risih dengan pandangan orang-orang di
sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba,
lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum
hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga,
sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi
pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh,
semua berbisik-bisik.
"Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"
"Nania beruntung!"
"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat
bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun
tak pernah bermuka masam!"
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga
orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa
dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi,
merasa tak berani, merasa? Tapi dia salah. Sangat
salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang
diluar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali
selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah
bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania
menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat
kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan.
Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak
dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan
yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya
tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi
sama karena usia, meski karir telah direbut takdir
dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya.
Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.

1 Comments:

Blogger Faiz Raj Ahmad Hakim said...

KEREN MA

6:47 PM  

Post a Comment

<< Home