Friday, September 28, 2007

KADO KOSONG

Menjelang hari raya, seorang ayah membeli beberapa gulung kertas kado.
Putrinya yang masih kecil, masih balita, meminta satu gulung.
"Untuk apa?" tanya sang ayah.
"Untuk kado, mau kasih hadiah." jawab si kecil.
"Jangan dibuang-buang ya." pesan si ayah, sambil memberikan satu gulungan kecil.

Persis pada hari raya, pagi-pagi si kecil sudah bangun dan membangunkan ayahnya, "Pa, Pa ada hadiah untuk Papa."

Sang ayah yang masih malas-malasan, matanya pun belum melek, menjawab,
"Sudahlah nanti saja."

Tetapi si kecil pantang menyerah, "Pa, Pa, bangun Pa, sudah siang."

"Ah, kamu gimana sih, pagi-pagi sudah bangunin Papa."

Ia mengenali kertas kado yang pernah ia berikan kepada anaknya.

"Hadiah apa nih?"

"Hadiah hari raya untuk Papa. Buka dong Pa, buka sekarang."

Dan sang ayah pun membuka bingkisan itu.
Ternyata di dalamnya hanya sebuah kotak kosong.

Tidak berisi apa pun juga. "Ah, kamu bisa saja.
Bingkisannya koq kosong.Buang- buang kertas kado Papa.
Kan mahal?"

Si kecil menjawab, "Nggak Pa, nggak kosong. Tadi, Putri masukin begitu buaanyaak ciuman untuk Papa."

Sang ayah terharu, ia mengangkat anaknya.
Dipeluknya, diciumnya.

"Putri, Papa belum pernah menerima hadiah seindah ini.
Papa akan selalu menyimpan boks ini.

Papa akan bawa ke kantor dan sekali-sekali kalau perlu ciuman Putri,
Papa akan mengambil satu. Nanti kalau kosong diisi lagi ya !"

Moral cerita ,
Kotak kosong yang sesaat sebelumnya dianggap tidak berisi, tidak memiliki nilai apa pun, tiba-tiba terisi, tiba-tiba memiliki nilai yang begitu tinggi.
Apa yang terjadi ?

Lalu, kendati kotak itu memiliki nilai yang sangat tinggi di mata sang ayah, di mata orang lain tetap juga tidak memiliki nilai apa pun. Orang lain akan tetap menganggapnya kotak kosong.

Kosong bagi seseorang bisa dianggap penuh oleh orang lain.

Sebaliknya, penuh bagi seseorang bisa dianggap kosong oleh orang lain.

Kosong dan penuh - dua-duanya merupakan produk dari "pikiran" kita sendiri.

Sebagaimana kita memandangi hidup demikianlah kehidupan kita.

Hidup menjadi berarti, bermakna, karena kita memberikan arti kepadanya,memberika n makna kepadanya.

Bagi mereka yang tidak memberikan makna, tidak memberikan arti, hidup ini ibarat lembaran kertas yang kosong...... .....

Read more!

Friday, March 30, 2007

Anna Marie Fatimah Jacquet

oleh: Anna Marie Fatimah Jacquet
Setelah Papa lulus dari sekolah penerbangan Perancis, beliau menikah dengan mamaku. Papa seorang kulit hitam, namanya Charles Jacquet, mamaku orangkulit putih, namanya Isabell Louvrett. Keluargaku cukup demokratis, oleh karena itu, bagi Papa, pernikahan tidak memandang perbedaan kulit. Cara berpikir itu pula yang mendorong Papa untuk pindah ke Amerika. Baginya dunia itu luas, di manapun kita berada, asal mau berusaha, pasti kita menjadi seseorang. Oleh karena itu kami pindah ke Portland. Papa ditawari menjadi penerbang di suatu perusahaan. Di sana beliau menjadi Pilot pesawat Air Bus dan menerbangkan pesawat ke banyak wilayah di Amerika.

Papa mempunyai sebuah cita-cita. Ada sebuah pesawat yang sangat dicintainya. Kecepatannnya luar biasa, mach2, selain itu bodinya sempurna. Pesawat kebanggaan Amerika ini menjadi cita-cita papaku. Namanya F-16. “Voir ma dear, lihat sayang,” Ujar Papa suatu kali di pangkalan pesawat terbang, tempatnya bekerja. Beliau menunjuk ke sebuah pesawat indah.Itulah F-16. “Suatu hari, Papa akan menaikinya, begitu pula dengan Mama dan kamu ma pouppette.”
Saat itulah aku tahu, betapa tingginya cita-cita Papa. Beliau bukan berasal sekolah militer, dan bukan warga negara asli Amerika. Hampir tidak mungkin baginya untuk menjadi anggota AU Amerika. Tapi cita-cita itu tetap dipegangnya dengan teguh dalam hati. Ya, cita-cita indah tentang menaiki burung besi yang bagaikan seekor rajawali.Tujuh tahun telah berlalu sejak kepindahan kami. Usiaku sudah 12 tahun.Papa kini menjadi salah satu pegawai yng disegani di perusahaannya. Mama juga meneruskan kuliahnya, dia mengambil jurusan sastra Perancis. Jelas terlihat pada dirinya, betapa ia masih mencintai Perancis. Di rumah pun, bahasa Inggris masih terbatas pemakaiannya. Hampir sepanjang hari mama berbicara dengan bahasa Perancis.

Terkadang kalau kami bepergian dengan taksi, mama suka tiba-tiba berkata, “Conduisez-moi a…ups, I mean, take me to…”
Kalau sudah begitu, papa dan aku hanya bisa tertawa kecil. Teman-temanku di sekolah pun cukup heran dengan keberagaman keluargaku. Apalagi kalau ada pertemuan orangtua murid di sekolah. Guru-guruku selalu memanggil nama mamaku bekali-kali, padahal beliau sudah ada di hadapan mereka. Maklum, kulitku hitam seperti Papa, walaupun mataku biru seperti mama. Tapi ini semua membuatku bangga. Tidak semua anak beruntung sepertiku. Ya, kan?

Segala sesuatunya berjalan normal, Papa bekerja, Mama kuliah, dan aku sekolah. Tapi suatu hari, sesuatu yang benar-benar merubah kami sekeluarga. ” Jai faim, Mama. Saya lapar, Mama,” ujarku kepada Mama ketika tiba-tiba Papa masuk tanpa mengetuk pintu dahulu. Karena Papa baru pulang setelah seminggu penuh bekerja, aku segera berlari menujunya, biasanya, Papa akan langsung menggendongku sambil mengajakku bercanda. Tapi hari itu, dia hanya mengelus kepalaku, sambil tersenyum, dalam sekali. Lalu, tanpa basa-basi, Papa memeluk Mama, dan mulai menangis, pelan. Saat itu, pertama kalinya aku melihat laki-laki yang paling kubanggakan menangis seperti itu. Saat itu, aku hanya memandangi, dan tidak tahu apa yang terjadi .Ketika melihatku,Mama segera berkata, “Aller
pour tranguille, dear, I’ll bring your dinner, in a few minutes, okay?” ujar Mama lembut. Aku lalu naik ke atas dengan perasaan bingung. Selama 3 jam Mama dan Papa ngobrol di bawah, sepertinya menggunakan bahasa Perancis yang “complicated” sekali. Perutku yang lapar tidak terasa lagi, aku hanya ingin tahu, ada apa di bawah sana. Esok paginya aku terbangun. Rupanya semalam aku ketiduran. Cepat-cepat aku turun ke bawah. Hari ini hari Sabtu, sekolah libur. Begitu sampai di bawah,sudah ada Papa dan Mama menunggu di meja makan. Wajah mereka cerah sekali, bahkan jauh lebih tenang dari biasanya. Seperti ada jiwa baru di mata mereka yang membuat segala sesuatunya lebih baik. “Bonjour, ma pouppete,” Ujar Papa sambil menenggak kopi hangatnya. “How’s your sleep dear? Waktu mama ke kamarku semalam, kamu sudah tertidur.Jadi, pagi ini ada masakan istimewa, omelet kesukaanmu.” Keduanya tampak berseri. Tapi
kebingunganku, belum juga reda. Papa melihat itu, lalu menyuruhku duduk di dekatnya.

“Siapa Tuhanmu, Anna?” Pertanyaan Papa yang aneh dan tidak biasa itu mengejutkanku. Papa belum pernah bertanya seperti itu, bahkan
menyinggung-nyinggung hal itu pun jarang. Iya, kami merayakan natal setiap tahun, seperti orang lain. Setiap Paskah selalu ada ayam kalkun di meja makan. Terkadang kami ke gereja, di rumahku juga ada Bible. Tapi mempelajarinya? Membukanya pun, hanya pada saat-saat khusus itu. Papa, atau Mama, yang memang sangat demokratis, benar-benar tidak peduli tentang itu. Aku pun tidak, selama kami bahagia, itu sudah cukup. Tapi kujawab juga pertanyaan papa, sepanjang pengetahuanku. “Yesus, Papa,” Jawabku. “Lalu bagaimana dengan Tuhan Bapa?” Pertanyaan Papa benar-benar membingungkanku.”D-Dia juga, Papa,” jawabku ragu.”Lalu, Roh Kudus?” Hatiku gelisah, apa maksudmu Papa?
“Iya! Dia juga Tuhan!”. “Lalu, ada berapa Tuhan kalau begitu?” Aku teringat kata pastur yang masih membingungkanku sampai sekarang.”Semuanya satu Papa, hanya satu!”
“Kamu yakin Anna? Apa tiga sama dengan satu?” Aku terdiam. Aku gelisah dan heran, apa maksud papa bertanya seperti ini. Lalu Papa merubah pertanyaannya.

“Menurutmu, kalau ada, misalnya, dua yang sempurna, diberi kesempatan untuk menguasai dunia, apa yang mereka lakukan?” Tanya Papa.

“Bi-bisa saja mereka berebut atau bekerja sama, Papa,” jawabku.

“Misalnya mereka bekerja sama, dan yang satu tidak setuju dengan yang lainnya apa yang bakal terjadi?”

“Me-mereka akan bertengkar Papa.”

“Tepat, my little, pouppete, satu lagi kalaupun mereka bekerja sama bukanlah pola pikir mereka sama, sehingga dalam menciptakan sesuatupun sama. Apakah perlu dua orang kalau begitu?” tanya Papa.
“Tidak Papa, satupun cukup.” Papa lalu tersenyum mendengar ucapanku.
“Kalau begitu, apa perlu Tuhan yang banyak?” Aku terdiam. Jauh di dalam hatiku seperti ada sinar terang. Ya, aku memang baru berumur dua belas tahun, tapi perasaan itu benar-benar terasa di dalam hatiku.

“Tidak Papa, cukup satu,” jawabku mantap. Tiba-tiba air mata Papa tumpah,Mama juga. Dengan suara bergetar, Papa bertanya.”Terakhir dear, apa kamu percaya Tuhan?” Saat itu, bagaikan sekelilingku benar-benar sunyi senyap. Aku teringat betapa indah semua pertanyaan yang pernah kualami. Melihat bintang-bintang di planetarium, alam Perancis yang luar biasa, bukan hanya itu, segala sesuatu yang pernah kulihat selama ini Pasti ada yang membuat. Di pelajaran Biologi di sekolah, benda hidup tidak mungkin berasal dari benda mati. Kalau begitu, pasti segala sesuatu ini ada yang meciptakan, dan itu adalah…
“Ya, Papa. I believe in God.” Kedua orang tuaku tesenyum. Damai sekali.Tanpa sadar aku menitikan air mata, seperti aku baru terbangun dari mimpi panjang , dan pertama kali melihat cahaya. Rupanya ini yang membuat Papa menangis. Kembalinya keyakinan dalam dirinya. Ya, Papa telah menemukan Tuhannya. Dan kini aku ingin mengetahuinya. “Allah, Tuhan kita, Anna.” Perlahan Papa mulai bercerita,” Papa menemukan Dia saat mendengar seorang teman Papa, muslim yang membaca kitabnya dengan bahasa yang asing sekali bagi Papa. Tapi hati Papa bergetar, walau tidak tahu artinya, hati Papa benar-benar tergetar. Saat Papa menanyakan artinya, teman Papa menjawab, ‘Sesungguhnya bumi Allah itu luas, dan rezeki Allah berlimpah di mana-mana’. Papa kaget. Itu prinsip hidup Papa selama ini! Papa tidak menyangka, prinsip hidup Papa yang selama ini banyak ditentang, ada di suatu kitab. Apa itu kebenaran?
Lalu papa meminta teman Papa membacakannya ayat-ayat lain, dan hati Papa seperti disiram air sejuk.” “Anna, Mama pun merasakan itu. Tadi malam Papamu menceritakan semuanya.

Inilah yang Mama belum dapatkan selama ini. Islam! Menyembah Tuhan yang satu! Inilah jalan hidup yang Mama dan Papa cari.Bertahun-tahun, ya kau tahu sendiri Anna, hidup bahagia, tapi hati penuh kegelisahan. Dan kini,hanya dengan sepotong ayat saja, Papa dan Mama merasakan hidup yang sebenarnya. Anna, kau masih kecil, kami tidak memaksamu, tapi apa kau merasakan sesuatu? Coba rasakan di dasar hatimu, my little pouppete.” Aku tidak bisa berkata, tapi kepalaku kuanggukan. Dengan penuh keyakinan. Ya, aku masih kecil, tapi aku sudah merasakannya, getaran itu benar-benar menggema ke seluruh tubuhku. Pagi itu, sarapan kami terasa penuh makna. Seperti ruang-ruang kosong di relung hati, terisi sedikit demi sedikit. Bahkan sinar matahari pun terasa lebih jauh-lebih rendah.

***
Hari itu juga, kami ke rumah teman Papa, Mr.Ahmad Brown, dia sudah masuk Islam selama lima tahun. Dia Angkatan Udara Amerika Serikat yang sedang cuti. Papa bilang, di AU, perkembangan Islam sangat pesat. Terutama dari golongan orang kulit hitam.
Papa memiliki banyak kenalan dari AU, karena-seperti yang kalian tahu-kecintaannya pada pesawat F-16. Rupanya Papa mencuri-curi tahu ke mana saja pesawat itu berdinas, bagaimana onderdilnya, dan banyak lagi.

Kami bertiga diajak oleh teman Papa ke sebuah masjid sederhana diPortland. Tempat ini merupakan salah satu tempat syiar Islam yang masih jarang ditemukan di Portland. Kami bertiga masuk ke dalam dan melihat beberapa orang sedang sujud, membaca kitab, atau bergumam-gumam. Wajah mereka tenang sekali. Beberapa adalah orang Amerika asli, atau juga berkulit hitam seperti Papa. Tapi yang paling banyak adalah orang Asia. Teman Papa lalu mengajak kami bertemu pemimpin agama, pastur kalau di Kristen. Lalu secara sederhana, saat Papa minta diislamkan, dengan mata yang berkaca-kaca, dia menyuruh kami mengikuti perkataannya, “Asyhadu anla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, I witness that there is no God except Allah, and I witness that Muhammad is his messenger.” Singkat, tanpa perlu ritual berlebihan. Beliau lalu memberikan kami masing-masing sebuah kitab.

“This is Koran. Bacalah, pelajari. Tidak usah terlalu di buru. Ini jugasebuah kitab fiqih untuk mempelajari Islam, banyak buku yang bisa
kalian pinjam dan pelajari, dan kami semua siap membantu. Apa saja. Bersabarlah, remember, Actually God is with whom is patient.”

***
Kami sekeluarga perlahan-lahan mulai mempelajari Islam. Setiap habis Maghrib, selama satu jam sampai waktu Isya’ kami belajar membaca Al-Qur’an. Kalau Papa pergi tugas, istri Mr. Ahmad yang membantu. Islam perlahan-lahan mulai menjadi tiang penyangga hidup kami.

***

Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Terutama bagi Mama. Beliau mulai memakai kerudung. Dan pakaiannya, benar-benar mencerminkan muslimah. Tapi, teman-teman di kampusnya mulai menjauhinya. Hanya beberapa yang, yang benar-benar demokratis mau berteman dengannya. Untunglah, teman-teman muslimah bertambah banyak. Sehingga Mama tidak merasa sendiri. Tapi ada
satu hal yang terberat. Saat Mama menceritakan keislamannya kepada orangtuanya, Grandma terutama, marah besar. Saat mama berbicara ditelpon, air matanya tumpah. Lalu tiba-tiba ia diam, kemudian memanggil-manggil, “Mama, oh Mama, mama.” Teleponnya diputuskan. Mama hanya bisa bersandar didada Papa sambil menangis. Papa terus berkata, “Actually God is with whom is patient, Ma Cherie. He is. He is.

Di sekolah, teman-temanku tetap bersikap baik. Bahkan mereka suka bertanya yang aneh-aneh. Seperti, “Dalam Islam, ada Santa Klausnya, nggak?” atau “Wah, asik dong. Kamu ngak usah ke gereja lagi tiap minggu.” Dan banyak komentar lagi komentar lain. Sekolahku memang multi etnik, dan sangat liberal. Selama tidak mengganggu mereka, semua akan seperti biasa saja. Walaupun ada juga orangtua atau guru yang sinis, hal itu tidak kupedulikan. Mereka saja yang berpikir terlalu sempit. ***

Setahun berlalu, tiba-tiba di negara bagian ini muncul desas-desus mengerikan. Kabarnya orang-orang kulit hitam banyak yang tiba-tiba menghilang. Banyak yang mengatakan bahwa mereka menjadi korban penculikan sekte-sekte fanatik ras kulit putih. Polisi, FBI, sudah diturunkan ke berbagai kota, tapi hasilnya secara konkret belum juga muncul. Papa sangat khawatir.
“Isabell, aku akan cuti. Atasanku memaklumi. Lagipula aku belum mengambil cutiku yang sebulan. Dan kini, tugasku untuk menjaga kalian. Setidak-tidaknya sampai keadaan mereda. Oke? J’etaime I don’t want to lose you.” Situasi benar-benar gawat. Sudah beberapa mayat yang hilang yang ditemukan,dengan kondisi memilukan. Para maniak itu bahkan selalu meninggalkan pesan mengerikan, bahwa tidak jarang jorok, ‘Die you Negros!, atau ‘Pig’s skin ever better than your!” dan banyak lagi. Perlindungan bagi kaum kulit hitam dari Harlem. Kemarin, mayat seorang pastur kulit hitam ditemukan. Aku khawatir dengan Papa. ” Don’t worry ma pouppete. Allah with us. Kita harus berani, dan selalu waspada. Okay?”
Sampai hari itu. Hari dimana semua kebahagiaanku direnggut. Papa sedang berkendara dari kota. Kami sedang dalam pejalanan pulang. Karena ada pemblokiran jalan, kami terpaksa lewat jalan kecil. Malam itu sepi sekali.Tiba-tiba di tengah jalan, tedengar bunyi tembakan. Papa cepat-cepat mengerem. Ternyata ban kami pecah. Lalu, muncul orang-orang bertudung putih, berjalan mendekat sambil membawa obor dan senjata. Pakaian mereka putih,dengan lambang salib terbalik. Aku ketakutan, Mama juga, tapi Papa memegang tangan kami sambil teus berkata, “Ingat, apapun yang terjadi, Allah selalu bersama kita, Macherie.”
Mereka menyuruh kami turun dari mobil. Kalau tidak, mereka mengancam kepala kami akan ditembak. Papa menurut. Lalu kami digiring ke dalam hutan, perjalanannya cukup jauh, aku ingin menangis, tapi aku percaya, aku harus kuat. Kami tiba di sebuah lapangan luas. Di sana ada lebih banyak lagi orang-orang bertudung putih. Mereka beteriak kasar, bersorak-sorai, sambil membakar kayu-kayu. Pandanganku lalu tertuju ke sebuah penjara kayu. Panjang, dan didalamnya,banyak orang kulit hitam! Kami didorong ke sana.
Tiba-tiba Mamaku ditarik lengannya.”Lepaskan istriku!” Papa coba berontak. Mama berusaha untuk lepas, tapi sia-sia. Orang tiba-tiba berkata. “Wanita ini seorang kulit putih. Tapi lihat! Keluarganya Negro, cih, menjijikan! Tubuhnya sudah ternoda oleh si hitam itu! Negro hina! Dan, apa ini?” Ujarnya sambil menarik kerudung Mama, “Ini benda yang dipakai wanita-wanita Islam itu. Cih! Ini lebih hina lagi. Tidak ada pantas-pantasnya, bahkan untuk di muka bumi ini! Mau apakan dia?” Ujarnya sambil berteriak keras. “Bakar! Bakar! Bakar!” orang-orang itu mulai menjadi liar. Lalu orang tadi berkata lagi, “Semua ingin kau bakar. Tapi demi ras kulit putih kita, kuberi kau kesempatan. Tinggalkan keluargamu, juga Islammu. Kau akan kami bebaskan, setuju?” Papa tiba-tiba berteriak.
“Isabell! Lakukan! Lebih baik seorang dari kita selamat! Lakukan! Lakukan!” Tepat setelah itu. Kulihat mata biru mama dengan penuh keyakinan menatap tajam kepada orang itu, lalu berkata.

“Aku tidak akan melepaskan agamaku walaupun kulitku lepas dari dagingnya. Dan aku tidak akan meninggalkan keluargaku, walau nyawa taruhannya!” Orang itu gemetar, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengurung mamaku juga. Kami dilempar ke dalam, bersama orang-orang kulit hitam lainnya. Tubuh mereka kurus sekali, badannya penuh luka. Banyak juga wanita dan anak-anak seusiaku. Beberapa tampak berasal dari keluarga miskin, tapi ada juga yang berada sepertiku. Seorang laki-laki tiba-tiba berbicara kepadaku. “Hari ini mereka akan membunuh lima orang dari kita.” Lalu anak lain menyahut. “Lalu, mayatnya dibawa entah kemana…seperti ayahku,” gadis kecil itu menerangkan, lalu menangis. Mamaku lalu memeluknya dan bertanya. “Tidak adakah yang bisa kita lakukan?” Tiba-tiba seorang berbisik kepada Papa. Papa mengangguk, sebentar wajahnya tenang, lalu pucat sekejap dan tenang kembali. Ada apa, Papa? Papa mendekat kepadaku dan Mama, lalu berkata pelan. “Mereka telah mematahkan sala satu dari kayunya. Akan cukup bagi anak-anak dan wanita untuk keluar. Anna, kamu seorang pandu di sekolah, bawa mereka ke tempat pemblokiran polisi tadi, Isabell, kau jaga para wanita dan anak-anak ini. Okay?” belum sempat aku membantah, Mama cepat-cepat memotong sambil memegang kedua tangan Papa. “Charles, bagaimana denganmu? Bagaimana kau keluar? A-aku tidak mau pergi sendiri!” Air mata mama mulai tumpah, Papa memandangku dengan sangat dalam.Lalu Mama jatuh ke pelukan Papa, menangis sambil mengucap nama Allah. Aku menyelinap masuk di antara mereka, dan ikut menangis.

***

“Ayo saatnya sudah tiba. Anna, bawa anak-anak keluar, juga para wanita. Depechez vous! Cepatlah! Mumpung mereka sedang tertidur, Papa dan lainnya akan menahan mereka dari sini! Cepat lari!” Setelah semuanya keluar, aku kembali ke Papa. Tidak, tidak mungkin aku meninggalkan Papa. Tepat saat semuanya berjalan sempurna, tepat saat kami menemukan kehidupan di jalan yang lurus. Aku tidak rela, Papaku yang kucinta. Sang Pilot yang kukagumi. Ma Papa. “Ayolah Anna. Yang lain membutuhkanmu.” “Tapi Papa, kenapa harus begini? Tidak Papa! Tidak!”

“Chest-la-vie. Kamu harus tabah, ma pouppet. Kalau Papa memang harus pergi bukankah Papa akan pegi ke tempat yang lebih baik? Ke sisi Allah. Prier to Dieau. Kita akan bertemu lagi, Okay?” Papa lalu mencium keningku, lama, sampai kurasakan air matanya mengalir di keningku.
“Come on, Anna dear,” Mama memanggilku. Dia Lalu mematap lekat kepadaku Papa.” A toute a I’huere. I’ll be missing you,” Lama sekali keduanya bertatapan, lalu dengan lembut Papa mencium kening Mama. Dan berkata berkali-kali.
“J’etaime macherie. J’etaime. J’etaime Isabell, J’etaime Anna. J’etaime…” Lalu perlahan dilepaskannya pegangannya,” Allez vous-en! Lari sejauh mungkin. Ingat pesan Papa, jaga Mamamu!”

“Soyez tranguille I will Papa, I will.” Perlahan aku keluar, Mama memegangiku. Tiba-tiba salah seorang dari mereka melihat kami. Kami bergegas.
“Noubliez pas, Anna, ‘Asyhaduanla ilaha…..Illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah…” Aku dan Mama membalas,lalu kami pergi. Para penjahat itu mulai berkumpul. “Ingat cita-cita Papa, pouppete, F-16 burung besi kecintaan Papa. Wujudkan cita-cita Papa, Noubliez pas! J’etaime, J’etaime Isabell, J’etaime Anna!”
“J’etaime Papa! J’etaime”. “J’etaime Charles! J’etaime Mama dan aku lalu pergi berlari. Aku memimpin mengikuti arah bintang, semak-semak belukar yang melukai kakiku, tidak kuingat lagi. Pardoner Papa! Aku tidak ingat lagi ketika tiba di tempat pemblokiran polisi bagaimana kami menjelaskan kejadiannya, lalu masuk ke hutan dengan polisi. Aku tidak ingat bagaimana para biadab itu terkepung. Aku bermimpi, di suatu tempat, putih, dan halus. Papa!

“Wonderful ma pouppete. Kau berhasil. Sekarang jaga mamamu. Papa akan ke tempat yang akan berkumpul bersama lagi. N’oubliez pas! God is with whom is patient! Wujudkan cita-cita Papa. Goodbye ma pouppete! Lalu sosok Papa menghilang, pandanganku berputar, lalu aku terbangun. Wajah yang saat itu aku lihat, Mama!
“Oh, Anna. Anna, be patient. Papa is gone. He’s with Lord Now.” Mama lalu memelukku erat.
“Kami berterima kasih,” tiba-tiba seorang berkulit hitam berbicara. Wajahnya sedih sekali,” Papamu telah menyelamatkan hidupku. Dia melindungiku dari tembakan biadab-biadab itu. Papamu tidak menderita, dia pergi dengan senyum di wajahnya. Dia teus mengucap ‘Allah…Allah’, dan dia sempat meninggalkan pesan untukmu,” Anna, ma pouppete, jaga mamamu. Ingat cita-cita Papa. Preir to Dioer, J’etaime…” aku menangis, Mama juga. Papa kini telah pergi, tapi ke tempat yang lebih baik. Sampai aku juga kesana. Wait for me, Papa. I’ll make your dreams come true. J’etamine..

***
Papa mendapat gelar kehormatan dari pemerintah AS. Hidup Mama dan aku mendapat tunjangan, dan aku mendapat beasiswa. Aku melanjutkan ke sekolah militer. Mama, dengan tabah, membangun kembali dirinya. Beliau mengajar sastra Perancis di universitas-universitas Portland dan Seattle. Mama juga aktif mendakwahkan Islam di berbagai tempat. Perlahan kami membangun kembali keluarga kami, grandma bahkan memaafkan mama dan memutuskan untuk pindah ke Amerika untuk membantu Mama. Namun dengan
halus Mama menolak. Katanya, “I can raise my own child, trust me momm.”

***

Mesin pesawat berbunyi halus. Sayap F-16 yang kokoh ini membawaku terbang ke angkasa. Hari ini, Anna Marie Fatimah Jacquet, penerbang muslimat pertama, mewujudkan cita-cita Papa. Terus membumbung tinggi ke langit yang dicintai Papa. A’toute a I’houre Papa. Sampai kita bertemu kembali….( Nur)

Keterangan:
N’oubliez pas: jangan lupa
Soyez tranguille: jangan khawatir
Allez vouz-en: larilah
A’toute I’heure: selamat tinggal
J’etaime: aku mencintaimu
Chest la vie: inilah hidup
Aller puor tranguille: pergilah ke kamar
Harlem: tempat perkampungan orang-orang negro

from : http://www.speedytown.com


Read more!

Saturday, January 28, 2006

My Journey

Sunday, November 20, 2005

Sebuah Cerpen

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan
alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru
setelah menengok ke belakang,hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan
semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang;
Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman
Nania. Mereka ternyata sama herannya. "Kenapa?" tanya
mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan. Saat
itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu.
Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata
tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya
berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya
sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan
di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua
menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana.
Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari,
dia tak punya kata-kata! Dulu gadis berwajah indo itu
mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan
spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki
itu. Tapi kejadian dikampus adalah kali kedua Nania
yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama
terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan
keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga
Nania dianggap momen yang tepat karena semua
berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab
kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta
buntut mereka.
"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di
wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak
nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama
membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika
mengira Nania bercanda. Suasana sekonyong-konyong
hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita
melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua
menatap Nania!
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa
lucunya jika Rafli memang melamarnya. "Tidak ada yang
lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira
Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa
barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak
sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang
mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
seleidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang
duduk layaknya pesakitan.
"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama
mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan
nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa saja boleh
datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus
iya, toh?" Nania terkesima. "Kenapa?"
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu
paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat
bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu
bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu
meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar
biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki
manapun yang kamu mau! Nania memandangi mereka,
orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak,
dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang
uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan
Nania lontarkan. "Nania Cuma mau Rafli," sahutnya
pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu
dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka,
melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan
yang mencapai stadium empat. Parah. "Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan
pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian
tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya
ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan
seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan
seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan
membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak
tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya
fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak
'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan
perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup
hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima
Rafli. Di sampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya
menikah.
*** Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering
menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di
belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari
Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga
menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di
mata mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu besar
dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata,
atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang
membuat perempuan itu sangat bahagia. "Tidak ada
lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada
Nania." Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa
keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat,
mata mereka terlihat tak percaya. "Nia, siapapun akan
mudah mencintai gadis secantikmu!" "Kamu adik kami
yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!" "Betul.
Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya
kehidupan sukses!" Nania merasa lidahnya kelu.
Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa ama keempat adik dan kakak itu beradu
argumen. Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak! Betul.
Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania. Rafli juga sukses,
pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan
sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang
bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi
percuma. "Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu
sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk
menghidupimu." Teganya kakak-kakak Nania mengatakan
itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan
sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak
juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki
dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan.
Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin
setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak
perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup
senang. "Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania
memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. "Gaji
Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji
Abang." Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki
itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang
berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga.
Ya?" Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan
kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan
listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania
cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang.
Bahagia! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki
biasa, dari keluarga biasa, dengan 0pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan an gaji yang
amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak
penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi
Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu
mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu,
dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup
perempuan itu berada di puncak! Bisik-bisik masih
terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik
tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik
ya? dan kaya! Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu
membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania
belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia
hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari
hari ke hari. Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania
masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin
besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun
waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania,
atau membuat Nania menangis.
*** Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar.
Sudah lewat dua minggu dari waktunya. "Plasenta kamu
sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!" Mula-mula dokter kandungan langganan
Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania.
Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat.
Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak
dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya
waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar
ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat
tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania
belum satu pun yang datang. Anehnya, meski obat kedua
sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama,
Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan.
Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima
menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat
sekali. "Baru pembukaan satu." "Belum ada perubahan,
Bu." "Sudah bertamb sedikit," kata seorang suster
empat jam kemudian menyemaikan harapan. "Sekarang
pembukaan satu lebih sedikit." Nania dan Rafli
berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang
memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua.
Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah,
mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran
akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka
meleset. "Masih pembukaan dua, Pak!" Rafli
tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena
rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya.
Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak
sesuap nasi pun bisa ditelannya. "Bang?" Rafli
termangu. Iba hatinya melihat sang istri
memperjuangkan dua kehidupan. "Dokter?" "Kita operasi,
Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar." Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi
kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka
berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia
senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman
tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka
merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania
digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh
di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan
ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan.
Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak.
Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah
cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan
diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli
bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti
melafalkan zikir. Seorang dokter keluar, Rafli dan
keluarga Nania mendekat. "Pendarahan hebat." Rafli
membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna
merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak
terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka
selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania
yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak,
sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti
berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu
tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir
di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu
adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli
bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus
membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak.
Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi
itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga
daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah
boleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga
saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah
sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat
perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi
percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat
anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat
Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh,
dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.
Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat
telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan
menjenguk sanak famili mereka,melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda
mesra. Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania
bisa merasakan kehadirannya. "Nania, bangun,
Cinta?"Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang
sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang
cantik. Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak
keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah
sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan
istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan
suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan
itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, "Nania,
bangun, Cinta?" Malam-malam penantian dilewatkan
Rafli dalam sujud dan permohonan.
Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan
dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber
semangat bagi orang-orng di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak
merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan
yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias
perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening,
serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang
cantik. Nania sudah tidur terlalu lama. Pada hari
ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan
wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap
matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam
tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya,
mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus
kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah
merawat Nania selama sebelas tahun terakhir.
Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar
anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore
setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju
rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja
datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan
tahun yang sedang jatuh cinta. Ketika malam Rafli
mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu,
memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak
perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan
lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus
dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania,
membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan
paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di
mata Rafli. Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka
sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja,
makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun
Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli,
melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania.
Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat
merasa risih dengan pandangan orang-orang di
sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba,
lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum
hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga,
sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi
pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh,
semua berbisik-bisik.
"Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"
"Nania beruntung!"
"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat
bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun
tak pernah bermuka masam!"
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga
orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa
dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi,
merasa tak berani, merasa? Tapi dia salah. Sangat
salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang
diluar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali
selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah
bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania
menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat
kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan.
Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak
dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan
yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya
tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi
sama karena usia, meski karir telah direbut takdir
dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya.
Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.

Read more!